Sementarapenelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC. Kata kunci : Dampak, Penerapan, Tanam
Muhibbin Moh (2011) Penguasaan Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) oleh Masyarakat dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional. Doctor thesis, Universitas Brawijaya. Abstract Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, sampai saat ini masih terdapat beberapa hal yang diatur oleh UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, belum dapat dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan
YOGYAKARTA Kasus kepemilikan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mencuat setelah Handoko, seorang warga Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta atas Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi.
Konsephak ulayat (beschikkingsrecht) dapat dimaknai dalam konteks desa adat, dan dalam konteks negara untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu "kesejahteraan", sehingga hak penguasaan dan pemilikan atas tanah (adat) yang disebut druwe desa dalam pengelolaannya berupa penggunaan dan pemanfaatannya untuk diri sendiri cukup mereferensi hukum adat (awig-awig desa adat).
. Kali ini saya akan memposting aartikel tugas kuliah semester 2 pada mata kuliah struktur masyarakat Jawanmengenai perubahan yang ada di masyarakat Jawa Yuk, langsung saja membaca dan memahami isi artkel dibawah ini Jawa merupakan sebuah pulau yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat tinggi, sehingga tak heran jika berbagai bangsa dari seluruh penjuru dunia sangat antusias untuk datang ke pulau jawa dengan tujuan dapat ikut menikmati hasil pertanian dari tanah yang sangat subur atau sering disebut oleh orang jawa dengan sebuah istilah “gemah ripah loh jinawi”. Di pulau Jawa berbagai jenis tanaman dan tumbuhan dapat ditanam dan mudah untuk ditemukan, hal ini ditentukan oleh tekstur tanah dipulau jawa yang tergolong sangat subur sehingga kekayaan alam yang dimiliki pulau Jawa sangat menarik perhatian bangsa penjajah untuk berusaha ikut menikmati bahkan mereka berkeinginan untuk memilki dan memonopoli semua hasil kekayaan alam yang ada di pulau Jawa. Salah satu bangsa yang ingin menjajah hasil bumi orang jawa yaitu bangsa eropa, kedatangan bangsa eropa di Jawa menyebabkan bertemunya dua kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan Timur dan Barat yang mempunyai struktur sosial berlainan. Akibat pertemuan dua bangsa itu kebudayaan terkena pengaruh kebudayaan Barat yang sangat besar. Bangsa Eropa atau yang sering disebut dengan Kompeni Hindia Timur mula-mula hanya ingin menguasai perdagangan hasil bumi dan bukan politik. Namun dalam upaya mengamankan kepentingan ekonominya, kompeni terlibat dalam kesukaran dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Maka dari itu kompeni mampu menguasai daerah-daerah di sepanjang pesisir utara pulau jawa. Dengan demikian sistem pemerintahan kerajaan sepenuhnya berada ditangan kompeni, yang kemudian bupati tidak lagi dipilih secara langsung oleh raja tapi dipilih oleh kompeni dan penyerahan hasil bumi yang wajib dapat ditagih langsung dari bupati. Penyerahan hasil bumi yang wajib dilaksanakan tersebut diberlakukan secara sistem foedal. Akibat dari adanya sistem ini adalah kesejahteraan rakyat yang rendah. Oleh karena itu, masyarakat dipulau jawa mengalami perubahan-perubahan sosial yang merupakan pengaruh dari adanya pertemuan budaya barat dan timur yang terjadi pada saat itu hingga saat ini pengaruh budaya barat terhadap masyarakat jawa semakin tinggi. Bangsa kompeni menerapkan berbagai monopoli pertanian terhadap masyarakat jawa antara lain “tata bumi” pada saat mas pemerintahan Raffles dari Inggris. Kemudian dalam pemerintahan Van Den Bosch ia menerapkan sistem “tanam paksa” yang menghendaki agar penduduk jawa tetap menjadi petani. Sistem tanam paksa telah membawa pengaruh modernisasi yang mampu mengakibatkan terjadinya perubahan sosial terhadap masyarakat adanya sistem monopoli yang diterapkan oleh bangsa kompeni tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan sosial didalam masyarakat jawa diantaranya yaitu munculnya diferensiasi sosial dan sistem kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi adalah munculnya 1 golongan petani kaya-pemilik tanah lapisan atas, yang berhak mendapatkan tenaga kerja cuma-cuma; 2 petani bebas yang diharuskan kerja wajib; dan 3 golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah. Diferensiasi yang terjadi ini mengakibatkan pola atau sistem ekonomi pertanian masyarakat Jawa juga berubah. Dalam relasi tersebut terdapat saling ketergantungan antara kaum pemilik tanah modal dengan tenaga kerja buruh tani. Para petani dengan modal tanah yang dimiliki membutuhkan tenaga kerja untuk menggarap lahannya. Sedangkan, para petani buruh tergantung pada para pemilik tanah untuk mendapatkan penghasilan dengan menjual tenaga kerjanya. Dengan demikian Jawa mulai memasuki era kapitalisme. Dinamika khas dari kapitalisme adalah persaingan dan perolehan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa mengawali munculnya sistem kapitalisme pertanian yang ada di Jawa. Diferensiasi sosial semakin lebih besar ketika dilaksanakannya sistem tanam paksa. Ketentuan dalam sistem tanam paksa membuat posisi pejabat pedesaan semakin kuat posisinya. Kekuasaan dan pengaruh mereka semakin besar. Seperti diketahui para kepala desa maupun anggota pemerintahan desa lainnya mendapatkan tanah bengkok yang luas dan subur dan dibebaskan dari kerja rodi. Pengertian Perubahan Sosial dikemukakan oleh Gillin dan Gillin yang mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat Soekanto, 2006263. Dari pengertian perubahan sosial yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin ini menunjuk pada dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut tentang cara ia hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan, yang berarti dalam penjabaran kali ini aspek sosial tersebut yang menyebabkan perubahan kelas sosial didalam bidang pertanian masyarakat jawa. Perubahan sosial adalah suatu pergeseran dalam ciri kebudayaan dan masyarakat. Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Perubahan sosial pada masa tertentu juga merupakan pengaruh dari peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun atau zaman sebelumnya. Di Jawa sebenarnya yang terjadi adalah proses evolusi pertanian dengan ditandainya diferensiasi sosial yang terjadi. Hal ini nampak dalam pola perekonomian masyarakat yang tradisional-homogen ke bentuk kapitalisme pertanian. Diferensiasi sosial yang terjadi di Jawa juga menjadi penanda adanya perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Modernisasi yang terjadi di Jawa tentu tak lepas dari proses penemuan teknologi pertanian yang membuat proses produksi makin efisien. Modernisasi pertanian di Jawa yang ditampakkan dalam program revolusi hijau, membawa pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat bagi petani yang memiliki banyak tanah karena sasaran dari moderninasi hanya petani kaya yang memiliki tanah. Hal ini semakin memperbesar terjadinya diferensiasi sosial dalam masyarakat Jawa. Selain itu penciptaan sosial, dalam hal ini kapitalisme, juga terjadi di Jawa. Kapitalisme membuat pola dan sistem pertanian berubah dari sistem tradisional-homogen kebersamaan sosial dan ekonomi ke sistem pemilikan tanah secara pribadi yang memunculkan kelompok golongan petani atas dan proletar petani tak bertanah. Selain membahas perubahan kelas sosial dalam bidang kepemilikan tanah setelah ini penulis juga akan membahas perubahan sosial dalam aspek adat dan sopan santun yang tergambarkan pada penggunaan bahasa jawa dalam masyarakat sopan santun Jawa yang menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat, tergantung dari tipe interaksi tertentu, memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan yang diajak berbicara dalam hubungan dengan kedudukannya sendiri. Adat ini berhubungan dengan etika dan tatakrama Jawa. Bahasa Jawa merupakan bahasa yang sering didengar dan digunakan oleh masyarakat suku Jawa. Penggunaan bahasa Jawa sangat memperhatikan tingkatan-tingkatan pengguna bahasa Jawa tersebut. Tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa yang tertinggi salah satunya adalah bahasa Jawa Kromo Inggil. Tingkatan ini biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, misalnya seorang anak ke orang tuanya. Bahasa Jawa Kromo Inggil digunakan dengan tujuan untuk menghormati orang yang lebih tua. Namun penggunaan bahasa jawa khususnya bahasa krama inggil telah mengalami perubahan dari tuntutan etika masyarakat jawa, pada sat ini telah banyak ditemukan anak muda yang berkomunikasi tidak mengguanakan bahasa jawa krama inggil dengan orang yang usianya lebih tua. Bahkan pada saat ini jarang sekali anak-anak yang berkomunikasi dengan orang tua mereka menggunakan bahasa krama inggil, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut karena adanya pergeseran nilai yang diajarkan orang tua terhadap anak tersebut. Para orang tua jawa jaman sekarang sudah jarang yang menanamkan nilai adat kesopanan yang sepantasnya dimiliki oleh orang jawa yang penggunaan bahasa krama inggil diterapkan dalam percakapan sehari-hari antara seorang anak dengan orang tua, sehingga nilai tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan yang dimiliki anak tersebut ketika berkomunikasi dengan orang yang memiliki usia lebih tua. Selain itu faktor yang mempengaruhi yaitu adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat yang membawa dampak buruk terhadap anak-anak jaman sekarang yang belum mampu memfilter berbagai informasi yang seharusnya ditiru dan mana yang tidak pantas untuk ditiru. Dalam perubahan sosial yang berkaitan dengan sopan santun khususnya penggunaan bahasa tentunya tidak terlepas dari peran pendidikan formal yang saat ini sebagian besar lembaga pendidikan formal dipulau Jawa telah menerapkan penggunaan bahasa nasional bahkan ada beberapa lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan bahasa internasional yaitu bahasa inggris sebagai bahasa pengantar mereka didalam media pembelajaran. Lembaga pendidikan formal yang telah menerapkan penggunaan bahasa nasional maupun internasional tersebut biasanya kemudian mengenyampingkan atau bahkan melupakan bahasa daerah mereka yaitu bahasa Jawa. Saat ini sudah banyak ditemukan lembaga pendidikan yang menghilangkan mata pelajaran muatan lokal bahasa Jawa untuk menjadi mata pelajaran yang seharusnya dimengerti dan dipahami oleh para siswa. Apalagi pada saat ini adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan para siswa untuk mempelajari bahasa internasional agar nantinya para pelajar tersebut dapat bersaing didalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean atau yang sering kita dengar dengan sebutan MEA. Hal tersebut tentunya akan mendesak berkurangnya penggunaan dan pengajaran bahasa Jawa didalam lingkungan pendidikan formal. Sehingga masyarakat jawa pada saat ini sudah jarang yang menerapkan unggah-ungguh bahasa jawa yang sesuai didalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan Sosial dalam masyarakat Jawa yang selanjutnya adalah adanya perubahan Pola perilaku dan pola pikir yang sudah memiliki perubahan yang cukup signifikan antara pola pikir dan pola perilaku yang dimiliki masyarakat Jawa dahulu dengan masyarakat Jawa saat ini. Faktor yang paling berpengaruh dengan adanya perubahan ini adalah faktor teknologi dan masuknya budaya asing mampu merubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Jawa khususnya bagi para remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri. Mereka cenderung akan mengikuti berbagai trend yang sedang berkembang tanpa berpikir dampak negatif yang diperoleh dari adanya trend gaya hidup baru tersebut. Anak remaja sekarang memilki pola pikir dan pola perilaku kalau tidak mengikuti mode sekarang adalah remaja kuno, namun pemikiran mereka dan kelakuannya tidak sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Perubahan pola pikir dan perilaku seperti ini sering kita temukan dalam kehidupan remaja yang tinggal didaerah perkotaan atau lebih tepatnya kota metropolitan. Karena pada kota metropolitan memiliki tingkat keberagaman masyarakat atau heterogenitas yang sangat tinggi. Mereka berasal dari berbagai kebudayaan yang berbeda dan pastinya telah memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri dan telah menjadi pola pikir dan perilaku mereka. Namun kebudayaan tersebut nantinya juga akan mempengaruhi anggota masyarakat lain untuk meniru pola pikir dan perilaku yang menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan yang mereka bawa merupakan trend gaya hidup yang terbaru. Sehingga pola pikir dan perilaku tentang trend gaya hidup akan berkembang sangat cepat mempengaruhi didalam kehidupan masyarakat yang tinggal didaerah perkotaan khususunya masyarakat yang tinggaldi kota metropolitan. Kesimpulan Dari beberapa aspek yang saya ambil contoh untuk menggambarkan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat jawa tersebut,dapat disimpulkan bahwa Perubahan Sosial adalah ketidaksesuaian unsur-unsur yang berbeda yang menghasilkan pola kehidupan yang kurang serasi dan kurang seimbang. Suatu proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat khususnya masyarakat jawa terdapat berbagai faktor yang mendorong jalannya perubahan. Faktor-faktor tersebut antara lain Kontak dengan kebudayaan lain. Sistem Pendidikan Formal yang maju Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang Penduduk yang heterogen Sistem terbuka yang memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri. kemajuan IPTEK DAFTAR PUSTAKA Sosrodihardjo Soedjito. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta Bhratara Karya Aksara Soekanto Soerjono. 2006. Sosiologi Satu Pengantar. Jakarta PT Raja Grafindo Persada
ArticlePDF AvailableAbstractIntroductioan The Western Seram Islands have various customary rights that grow and develop in the lives of indigenous peoples and it becomes a rule that is believed by them, so that it becomes a law that binds them in determining their ownership rights to their customary of the Research This study aims to determine how the position of customary land ownership rights in the national land law system, and what is the legal basis and the way in which customary land ownership rights occur according to customary of the Research This study uses the normative legal research method, which aims to find out how the position of ownership rights over customary land in the national land law system in the areas of Taniwel Timur, Negeri Maloang and Negeri Sohuwe, West Seram Regency, Maluku Province, and to understand what the legal basis and How to Have Land Ownership Rights According to Customary Law in the Taniwel Timur District, Maloang State and Sohuwe State, West Seram Regency, Maluku of the Research In principle, ownership of land rights by a member or group of customary law communities, whether individual or communal / group, has a very binding power de jure and de facto. The principle of ownership in the provision of de jure guarantees in the sense that the customary law community recognizes that if ownership rights are obtained by means of the permission of the head of the association Kepala Adat or Kepala Soa, to open and manage land for customary law communities it can be said to be a legal act that is legal according to law. adat as long as it does not contradict the prevailing customary law norms, and the principle of ownership in a de facto manner, namely that the principle of ownership has been obtained from generation to generation. This is what the local government must pay attention to in terms of recognition of rights by customary law communities in West Seram District, Maluku Province. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 62 Lisensi Creative Commons Atribusi-NonCommercial Internasional Hak Milik Atas Tanah Adat Di Wilayah Kepulauan Mispa Christian Science Paisina 1, Adonia Ivone Laturette 2, Novyta Uktolseja 3 1,2,3 Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia. paisinamispa xxxxxxxxxxxxxxxx Keywords Right of Ownership; Indigenous Peoples; Customary Land. Introductioan The Western Seram Islands have various customary rights that grow and develop in the lives of indigenous peoples and it becomes a rule that is believed by them, so that it becomes a law that binds them in determining their ownership rights to their customary land. Purposes of the Research This study aims to determine how the position of customary land ownership rights in the national land law system, and what is the legal basis and the way in which customary land ownership rights occur according to customary law. Methods of the Research This study uses the normative legal research method, which aims to find out how the position of ownership rights over customary land in the national land law system in the areas of Taniwel Timur, Negeri Maloang and Negeri Sohuwe, West Seram Regency, Maluku Province, and to understand what the legal basis and How to Have Land Ownership Rights According to Customary Law in the Taniwel Timur District, Maloang State and Sohuwe State, West Seram Regency, Maluku Province. Results of the Research In principle, ownership of land rights by a member or group of customary law communities, whether individual or communal / group, has a very binding power de jure and de facto. The principle of ownership in the provision of de jure guarantees in the sense that the customary law community recognizes that if ownership rights are obtained by means of the permission of the head of the association Kepala Adat or Kepala Soa, to open and manage land for customary law communities it can be said to be a legal act that is legal according to law. adat as long as it does not contradict the prevailing customary law norms, and the principle of ownership in a de facto manner, namely that the principle of ownership has been obtained from generation to generation. This is what the local government must pay attention to in terms of recognition of rights by customary law communities in West Seram District, Maluku Province. Kata Kunci Hak Milik; Masyarakat Adat; Tanah Adat. Latar Belakang Kepulauan Seram Bagian Barat terdapat berbagai hak adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat hukum adat dan itu menjadi sebuah aturan yang diyakini oleh mereka, sehingga menjadi suatu hukum yang mengikat mereka dalam menentukan hak milik atas tanah adat mereka. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hak milik atas tanah adat dalam sistem hukum tanah nasiona, dan apa landasan hukum dan cara terjadinya hak milik atas tanah adat menurut hukum adat. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang bertujuan Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hak milik atas tanah adat dalam sistem hukum tanah nasional di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Pattimura Magister Law ReviewVolume 1 Nomor 2, September 2021 h. 62 – 72 E-ISSN 2775 - 5649 E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 63 Negeri Sohuwe, Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dan Untuk memahami apa yang menjadi landasan hukum dan cara terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Hasil Penelitian Pada prinsipnya kepemilikan hak atas tanah oleh suatu anggota atau kelompok masyarakat hukum adat baik bersifat individu maupun bersifat komunal / kelompok mempunyai kekuatan yang sangat mengikat secara de jure maupun secara de fakto. Prinsip kepemilikan dalam pemberian jaminan secara de jure dalam arti bahwa masyarakat hukum adat mengakui apabila hak kepemilikan yang diperoleh secara izin kepala persekutuan Kepala Adat atau Kepala Soa, untuk membuka dan mengelolah tanah bagi masyarakat hukum adat dapat dikatakan suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan norma – norma hukum adat yang berlaku, dan prinsip kepemilikan secara de fakto yaitu bahwa prinsip kepemilikan yang diperoleh itu, sudah diperoleh secara turun – temurun. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam hal pengakuan hak oleh masyarakat hukum adat di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. 1. Pendahuluan Keberadaan masyarakat hukum adat merupakan bagian dari keberadaan Indonesia sebagai bangsa. Masyarakat hukum adat merupakan unsur esensial masyarakat hukum nasional dalam lingkup negara Republik Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk plural terdiri atas ratusan suku bangsa, bahasa, dan lingkungan masyarakat adat yang tersebar di ribuan pulau besar dan pulau kecil. Pada sebaran pulau besar dan pulau kecil inilah hidup masyarakat adat yang memiliki norma hukum tersendiri. Masyarakat adat yang merupakan lingkungan masyarakat yang masih sederhana dan melekat dengan alam di sekitar hutan menjadi bagian penting dari keberadaan bangsa kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, untuk mempertahankan kehidupannya, mereka selalu bergantung kepada keberadaan tanah yang dianggap sebagai sumber penghidupan, atau dengan kata lain tempat berkembang biakan semua mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu tanah bagi masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku adalah suatu benda yang harus dijaga, dilestarikan, diamankan dengan demikian akan menjadi hak miliki mereka sendiri untuk kelangsungan hidup mereka. Didalam Undang – Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Pasal 3 Bahwa “Pelaksanaan hak ulayat dan hak – hak yang serupa itu dari masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas Hendra Nurtjahtjo and Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Berperkara Di Mahkamah Konstitusi Jakarta Salemba Humanika, 2010, h. 3. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 64 persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi”. Sejalan dengan itu maka tanah sebagai objek lahan pengelolaan sumber daya alam mempunyai arti yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dan pembangunan sebagai sarana utama. Tanpa tanah tidak mungkin ada pembangunan infrastruktur, industry, perumahan, pariwista maupun perkebunan yang skala besar. Sebagian besar kehidupan masyarakatr hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohhuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, sangat bergantung pada tanah. Dalam lingkungan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, tanah sangat istimewa kedudukannya, sebagai tempat mendirikan bangunan, tempat memberi makan, tempat mereka dikuburkan, mempunyai nilai spiritual dimana mereka dapat berhubungan dengan leluhurnya, karena pentingnya tanah bagi kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, pemilikan hak atas tanah sesuai pula dengan kodrat hakikat manusia. Manusia pada hakikatnya besifat privat dan kolektif. Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf ulung Abad Pertengahan mengatakan manusia menurut kodratnya bersifat individual dan sosial. Itulah sebabnya dalam pemilikan atas suatu benda, termasuk pemilikan atas tanah, kedua dimensi tersebut bisa terpadu secara berbeda halnya dengan terjadinya hak milik berdasarkan hukum adat yang hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang diamanatkan pada Pasal 22 ayat 1 UUPA untuk mengatur mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat tersebut, untuk itu Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat secara normative harus membuat sebuah legalitas pengakuan tentang perlindungan terhadap hak milik atas tanah adat di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang – Undang Pokok Agraria Pasal 22 ayat 1 yang berbunyi “terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sehingga hal ini tidak berpotensi menimbulkan multi tafsir mengenai hal tersebut yang cenderung berpotensi menimbulkan dampak negative bagi warga masyarakat hukum adat Kabupaten Seram Bagian Barat terkhusus masyarakat hukum adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe dalam hal menguasai tanah berdasarkan hukum adat yang sudah menjadi landasan hukum dalam kehidupan sehari – hari secara turun - temurun. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai apa yang menjadi landasan hukum bagi masyarakat hukum adat di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe terkait dengan hak milik atas tanah adat, yang secara normative belum ada pengakuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Dan bagaimana cara terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat selama peraturan pememerintah Kabupaten Seram Bagian Barat yang Adonia Ivone Laturette, “Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional” Universitas Airlangga, 2011, h. 1. Sony A Keraf, Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi Yogyakarta Kanisius, 2001, h. 23. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 65 dimaksud belum lahir, serta bagaimana kedudukam hak milik yang terjadi berdasarkan hukum adat dalam sistem hukum tanah nasional. 2. Metode Penelitian Penelitian hukum yang dipakai oleh penulis berdasarkan permasalahan yang diteliti adalah penelitian dengan metode penelitian hukum “normative”. Metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum keputusan adalah metode atau cara yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif norma hukum yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahap kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subyektif hak dan kewajiban. Sehingga dapat mengetahui kedudukan wilayah petuanan masyarakat adat di wilayah kepulauan terkhusus kepulauan Seram Bagian Barat, Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dalam aspek yuridis. Barkaitan dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif, asas – asas hukum, prinsip – prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Olehnya itu, penelitian ini selain utamanya mengkaji ketentuan – ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum akan tetapi juga menggunakan sedikit kajian hukum “Yuridis/sosiologis” yang bertujuan untuk mengkontruksikan tata hukum adat agar dapat mencari fakta dan pembenaran yuridis masalah atas permasalahan hukum, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian memberikan persepsi mengenai apa yang seyogyanya atas permasalahan hukum dari penelitian yang dilakukan. Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalahPendekatan Undang-Undang Statute pproach, Pendekatan historis Historical approach, Pendekatan kompratif Commparative approach, Pendekatan konseptual Conseptual approach. 3. Hasil dan Pembahasan Kedudukan Hak Milik Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Hukum Tanah Nasional Hukum Agraria Nasional bersumberkan pada hukum adat, dalam sistem hukum adat dikenal ada dua macam hak atas tanah yaitu Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta Raja Grafindo Persada Jakarta Rajawali Pers, 2015, h. 13-14. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, 2016, h. 93. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 66 1 Hak atas tanah yang dikuasai secara bersama oleh suatu masyarakat adat, yang dalam istilah teknis yuridis disebut hak ulayat. 2 Hak tanah yang dikuasai secara perorangan. Hak ulayat merupakan hak masyarakat hukum adat atas segala sumber daya agrarian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak ulayat lahir bukan karena diciptakan oleh putusan pejabat tetapi tumbuh dan berkembang serta juga dapat lenyap sesuai dengan keberadaan dan perkembangan kehidupan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat – syarat tertentu, yaitu, eksistensi dan mengenai pelaksanaanya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah – daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak dihidupkan kembali. Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasrakan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang – Undang dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum Angka H/3 disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas”. Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agrarian nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam pembentukan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga – lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak – hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan dengan peraturan perundang perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang berdasarkan pada hukum agama”. Lebih dari itu, dalam mukadimah UUPA 1960 dinyatakan“Bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan – pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur – unsur yang berdasar pada hukum agama”. A P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria Bandung Mandar Maju, 2008, h. 24. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 67 Landasan Hukum dan Cara Terjadinya Hak Milik Atas Tanah Adat Menurut Hukum Adat Indonesia sebagai Negara Agraria pertanian yang mempunyai sumber alam yang melimpah, akan tetapi kekayaan yang demikian besar sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa itu belum dapat dinikmati oleh rakyat, nampaknya kekayaan alam itu dimiliki oleh sebagian kecil orang Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 adalah Negara hukum konstitusional yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga Negara, antara lain hak warga Negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak milik. Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi Negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria. Hak milik sebagai suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum UUPA maupun dalam UUPA. Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Poko Agraria menyebutkan bahwa terjadi hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 22 disebut “sebagai missal dari cara terjadi hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat dimaksudkan agar tidak menimbulkan kerugian terhadap kepentingan umum dan Negara. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya di sebut UUPA tersebut hingga saat ini belum lahir sehingga belum mempunyai dasar hukum berupa ketentuan perundang-undangan mengenai cara terjadinya hak milik menurut hukum adat namun tidak berarti bahwa terjadinya hak milik menurut hukum adat tidak mempunyai landasan hukum. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria selanjtunya disebut UUPA disebutkan bahwa hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sasialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Oleh karena itu dalam hal belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara terjadinya hak milik menurut hukum adat maka yang berlaku adalah hukum adat itu sendiri yang tentunya dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 5 UUPA. Cara Terjadinya Hak Milik Atas tanah Adat Menurut Hukum Adat Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 tiga cara sebagaimana diatur dalam pasal 22 UUPA yaitu 1 Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat. 2 Hak milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah. Suryani Sappe, Adonia Ivonne Laturette, and Novyta Uktolseja, “Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Dan Penyelesaian Sengketa,” Batulis Civil Law Review 2, no. 1 2021 78–92, E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 68 3 Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan undang – undang. Namun dalam penelitin ini, penulis lebih memperhatikan hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat, terjadi hak milik atas tanah adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, berawal dari peperangan yang terjadi pada jaman dahulu yang mana terjadi peperangan itu karena terjadi perebutan wilayah kekuasan antara persekutuan masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain bukan yang berasal dari satu lingkungan persekutuan masyarakat adat demi tempat tinggal dan untuk kelangsungan hidup mereka. Dengan demikian siapa yang kuat dalam peperangan tersebut akan menguasai dan memiliki wilayah termasuk tanah yang sangat luas sesuai dengan batas kekuasaan berperang. Sebuah peristiwa yang terjadi jaman dahulu tumbuh dan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat adat, dan lahir menjadi suatu peristiwa hukum berdasarkan kebiasaan masyarakat adat, maka di jadikan sebagai suatu aturan hukum bagi masyarakat adat yang mereka yakini dan percayakan sebagai hukum dalam persekutuan masyarakat adat di negeri Maloang dan negeri Sohuwe sampai saat ini, terkait dengan hak milik atas tanah adat yang awal mulanya lahir dari hasil peristiwa peperangan antara sesama kelompok persekutuan masyarakat adat pada jaman dahulu. Hak milik adat secara original tumbuh dan berkembang dari hak yang paling rendah tingkatannya, yaitu hak menandai tanah atau hutan. Pertumbuhan perkembangan hak tersebut berlangsung berdasarkan kaedah – kaedah hukum setempat. Dalam hukum tanah adat pulau Seram Kabupaten Seram Bagian Barat Kecamatan Tiniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, hak milik tumbuh dan berkembang dengan tahapan sebagai berikut a Hak milik tanah Soa. b Hak milik tanah Marga. c Hak milik tanah Negeri. d Hak milik tanah Perseorangan / individu. Penelitian ini penulis lebih mendepankan hak milik komunal atau hak milik bersama antara persekutuan masyarakat hukum adat di kedua negeri, setiap warga masyarakat hukum adat dapat dengan bebas menggunakan tanah sesuai dengan hak yang telah disepakati bersama dalam kelompok persekutuan masyarakat hukum adat di negeri Maloang dan negeri Sohuwe Kecamatan Taniwel Timur Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Bagi anggota persekutuan yang bukan berasal dari kedua negeri ini tidak berkenaan untuk memiliki hak atas tanah yang dimilik oleh persekutuan masyarakat hukum adat di kedua negeri ini, namun apabila diberi ijin oleh kepala adat, raja negeri dan masyarakat adat maka dia bisa menggunakan tanah tersebut untuk bercocok tanam atau membuka usaha di tanah tersebut, namun satatus tanah yang di gunakan hanyalah sebagai hak pakai bukan menjadi hak milik karena tanah u=yang digunakan berstatus hak milik tanah adat, dan apabila dikemudian hari dikembalikan oleh lembaga adat maka mereka harus mengembalikannya kepada lembaga adat tanpa meminta pergantian kerugian kepada E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 69 lembaga adat. Adapu tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat di gunakan untuk berkebun, dan di sewakan. Menurut Maria Sumardjono mengatakan hak ulayat sebagai istilah teknik yuridis adalah hak yang lekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang / kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya, dengan daya berlaku ke dalam dan keluar. Adapun hukum tanah adat sendiri adalah keseleruhan ketentuan – ketentuan hukum, ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama, yaitu hak – hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga – lembaga hukum dan sebagai hubungan – hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi suatu kesatuan yang merupakan satu sistem Tanah-tanah yang sudah di tetapkan berdasarkan kesepakatan bersama oleh Kepala Adat, Kepala Soa, dan Masyarakat Hukum Adat, tidak dapat dibatalkan lagi. Karena menurut aturan adat yang mereka yakini bahwa sesuatu yang sudah di putuskan atau sudah di sepakati bersama dalam pertemuan adat, sudah menjadi ikatan dan tidak dapat di batalkan dan di langgar oleh siapapun, dengan demikian maka tanah yang sudah di tetapkan dapat menjadi hak milik persekutuan masyarakat hukmum adat, dan tanah – tanah tersebut diberi tanda batas. Benda – benda yang digunakan sebagai tanda batas yaitu 1 Gunung. 2 Batu besar. 3 Pohon kayu yang besar. 4 Air atau kali. Setiap tanah-tanah yang sudah diberikan tanda batas oleh persekutuan masyarakat hukum adat, batas tersebut tidak dapat dilewati oleh anggota persekutuan masyarakat lainnya, dan apabila di lewati batas yang sudah di berikan tanda, maka anggota persekutuan masyarakat hukum adat akan mendapat sanksi sesuai dengan aturan adat mereka. Bagi masyarakat hukum adat dapat dengan bebas mempergunakan tanah adat namun tidak dimiliki secara individu. a. Hak Milik Tanah Soa. Tanah Soa ini dimiliki oleh beberapa marga yang tergabung dalam soa tersebut, misalnya di desa Sohuwe Soa Latu ini terdiri dari beberapa marga yaitu, marga Sea, marga Latununuwe, dan beberapa marga pendatang yang kawin masuk ke negeri. Secara hak milik atas tanah adat di negeri ini, yang berhak atas tanah tersebut hanya meraka yang berada dalam persekutuan soa ini saja, tidak diperbolehkan maraga lain yang bukan berasal dari persekutuan soa tersebut masuk untuk memiliki tanah dalam persekutuan mereka, dengan demikian tanah milik soa hanya dapat di miliki oleh anggota persekutuan saja, tidak bisa di milik oleh anggota yang bukan berasal dari persekutuan soa tersebut. Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi Jakarta Kompas, 2001, h. 55. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 70 Antara persekutuan dengan tanah yang mendudukinya itu hubungan yang erat sekali, hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan anggota persekutuan masyarakat hukum adat memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. b. Hak Milik Tanah Marga Tanah marga hanya di milik oleh marga – marga tertentu yang secara keturunan dia berasal dari marga tersebut. Tanah marga juga bisa dimiliki oleh anggota dari persekutuan soa, misalnya dalam soa latu atau soa besar terdapat marga marayate atau latununuwe, kedua marga tersebut juga bisa memiliki hak atas tanah adat yang berada dalam persekutuan marga. Untuk itu, tanah marga juga bisa di miliki oleh anggota persekutuan soa lain yang berstatus marganya yang sama. c. Tanah Negeri atau Tanah Dati Tanah ini di pergunakan untuk kepentingan bersama misalnya, ada seorang wanita atau pria yang kawin masuk mereka akan di ijinkan untuk menggunakan tanah negeri sebagai lahan bercocok tanam, namun kesemuaannya itu harus dengan ijin dari kepala adat, saniri negeri, raja negeri dan masyarakat setempat, tetapi tidak bisa di ambil sebagai hak miliknya, hanya bersifat hak pakai . Hak negeri atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. Seperti apa yang di amanatkan dalam pasal 6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi social”. d. Tanah Perorangan / Individu Tanah milik perorangan ini lahir dari tanah marga, yang mana secara adat tanah tersebut sudah di berikan kepada seseorang dari marga tersebut untuk di miliki secara pribadi. Tanah milik perorangan ini juga lahir dari jual beli tanah adat antara masyarakat hukum adat dan juga masyarakat yang bukan masyarakat hukum adat setempat. Hak milik atas tanah dari seseorang masyarakat hukum adat yang membuka dan mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah, bahwa warga yang mendiami tanah itu berhak sepenuh-penuhnya atas tanahnya tetapi dengan ketentuan wajib menghormati hak ulayat negerinya, di pandang dari perspektif hukum adat setempat. Menurut Pasal 22 UUPA, hak milik menurut hukum adat harus diatur dengan peraturan Pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Seorang warga persekuatan masyarakat hukum adat dari kedua negeri tersebut berhak untuk membuka lahan dan mengerjakan lahan itu terus-menerus dan menanam tanaman di atas tana tersebut sehingga sehingga ia mempunyai hak pakai atas tanah. Hak pakai ini dapat diperoleh meskipun hak Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif Malang Malang Bayu Media Publishing, 2006, h. 307. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 71 mengerjakan tanah itu praktis walaupun bertahun-tahun tidak menjadi persoalan bagi persekutuan masyarakat hukum adat. Tanah adat yang berada dalam penguasaan dan kepemilikan secara komunal diatur sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku pada masing-masing wilayah hukum adat. Tanah petuanan adalah hak negeri terhadap seluruh petuanan dan merupakan hak atas tanah menurut hukum adat. Oleh karena itu semua anak negeri mempunyai hak untuk mempergunakan dan memanfaatkannya sebagaimana metinya berdasarkan ketentuan – ketentuan adat di kedua Negeri tersebut Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe. Pada prinsipnya kepemilikan hak atas tanah oleh suatu anggota atau kelompok masyarakat hukum adat baik bersifat individu maupun bersifat komunal / kelompok mempunyai kekuatan yang sangat mengikat secara de jure maupun secara de fakto. Prinsip kepemilikan dalam pemberian jaminan secara de jure dalam arti bahwa masyarakat hukum adat mengakui apabila hak kepemilikan yang diperoleh secara izin kepala persekutuan Kepala Adat atau Kepala Soa , untuk membuka dan mengelolah tanah bagi masyarakat hukum adat dapat dikatakan suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma hukum adat yang berlaku, dan prinsip kepemilikan secara de fakto yaitu bahwa prinsip kepemilikan yang diperoleh itu, sudah diperoleh secara turun-temurun. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam hal pengakuan hak oleh masyarakat hukum adat di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Kesimpulan Landasan yang menjadi dasar terjadinya hak milik adat atas tanah masyarakat hukum adat adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum adat pada umumnya dan kaedah-kaedah hukum adat setempat. Prinsip-prinsip atau asas-asas hukum adat pada umum terdapat sama dalam semua lingkungan hukum adat sedangkan kaedah-kaedah hukum adat setempat merupakan adat setempat merupakan hukum adat yang berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang dapat saja berbeda dengan lingkungan hukum adat lainnya. Secara substansi hak milik yang lahir berdasarkan hukum adat hak milik masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan yang sama dengan hak milik yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah hak milik, perbedaannya hanya terletak pada bukti kepemilikan. Bukti kepemilikan hak milik atas tanah yang lahir berdasarkan hukum adat yaitu bukti penguasaan fisik dan pengakuan warga masyarakat hukum adat setempat, sedangkan bukti kepemilikan yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah adalah berupa sertifikat. Karena itu apabila hak milik atas tanah masyarakat hukum adat didaftarkan kepada kantor pertanahan maka atas tanah tersebut akan diterbitkan juga sertifikat hak milik sebagaimana halnya hak milik yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah. Referensi Ibrahim, Johnny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang Malang Bayu Media Novyta Uktolseja, “Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon” Disertasi Universitas Airlangga, 2015, h. 65. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 72 Publishing, 2006. Keraf, Sony A. Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi. Yogyakarta Kanisius, 2001. Laturette, Adonia Ivone. “Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional.” Universitas Airlangga, 2011. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum,. Jakarta Kencana, 2016. Nurtjahtjo, Hendra, and Fokky Fuad. Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Berperkara Di Mahkamah Konstitusi. Jakarta Salemba Humanika, 2010. Parlindungan, A P. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung Mandar Maju, 2008. Sappe, Suryani, Adonia Ivonne Laturette, and Novyta Uktolseja. “Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Dan Penyelesaian Sengketa.” Batulis Civil Law Review 2, no. 1 2021 78–92. Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta Raja Grafindo Persada. Jakarta Rajawali Pers, 2015. Sumardjono, Maria S. W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta Kompas, 2001. Uktolseja, Novyta. “Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon.” Disertasi Universitas Airlangga, 2015. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this SappeAdonia Ivone LattureteNovyta UktolsejaThe process of the occurrence of use rights over land is based on statutory regulations and government regulations to prevent misuse of the administration process. However, in this era of increasingly modern life, there are many disputes relating to control and use of land for public, individual and private interests. The right to use is not at all a new land rights institution, but it is less well known than the ownership rights, land use rights, or building use rights, for that it requires a correct understanding of the right to use in order to use it responsibly. The purpose of this paper is to study and analyze the arrangements for use rights over land with ownership rights and to study and analyze the process of settling usufructuary disputes over land with ownership rights. The method used in this research is the normative juridical method using the statute approach and the conceptual approach, and the case approach is then studied and used as material for descriptive analysis in order to obtain answers to the problems that occur. The results of the research show that the regulation of use rights over land with ownership rights is very important because, when the right to use stands, buildings or objects become assets of the recipient of the right to use. So when the right of use expires or is canceled it will have a legal effect on the objects on it, thus it is hoped that there must be regulations governing objects or buildings that are included in the relinquishment of use rights even though there is an agreement made by the Sistem Pewarisan Tanah Dati Di AmbonNovyta UktolsejaUktolseja, Novyta. "Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon." Disertasi Universitas Airlangga, Ulayat Dalam Hukum Tanah NasionalAdonia LaturetteIvoneLaturette, Adonia Ivone. "Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional." Universitas Airlangga, Dan Metode Penelitian Hukum NormatifJohnny IbrahimPenelitian Hukum NormatifSoerjono SoekantoSri MamudjiSoekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta Raja Grafindo Persada. Jakarta Rajawali Pers, Pertanahan Antara Regulasi Dan ImplementasiMaria S W SumardjonoSumardjono, Maria S. W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta Kompas, Sistem Pewarisan Tanah Dati Di AmbonJohnny IbrahimIbrahim, Johnny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang Malang Bayu Media 12 Novyta Uktolseja, "Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon" Disertasi Universitas Airlangga, 2015, h. MarzukiMahmudMarzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum,. Jakarta Kencana, 2016.
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman fa atan tanah berdasarkan aturan normative ataupun secara alami atas tanah. Adapun pengelolaan pertanahan khususnya di Pulau Jawa berdasarkan historis yuridis, dibagai dalam beberapa tahapan, yaitu a. Pengelolaan Pertanahan Tradisional Adat di Jawa Bagian Tengah Landasan pikir awal untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham 19845 yakni menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa atasnya. Dalam Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 23 penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional ini yakni tanah narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage Wasino, 20051-2. Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat. Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi di daerah Kedu Barat, Bumija di daerah Kedu Timur, Numbak Anyar di daerah Bagelen timur, Penumping daerah sebelah barat Surakarta, serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang Wasino, 200518. Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag Wasino, 200529; Suhartono, 199129. Bumi pamajegan merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi. Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi sebagai pengganti jerih payah dari raja mereka mendapat Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 24 ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh. Dari hasil bumi tanah tersebut para pejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan kepada kas kerajaan Pesponegoro dan Notosusanto [ 1984 20. Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh 1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya16. Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bĂŞkĂŞl sebagai pengelola tanah lungguh. BĂŞkĂŞl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional. b. Pengelolaan Pertanahan Masa Kolonial di Pulau Jawa Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuknya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 16 Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage adalah jung kira-kira m2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 25 terjadilah perubahan-perubahan pola penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan penguasaan pribadi. Awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC17. Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak dan Pesisir Timur Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura. Akan tetapi secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat. Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Gubernur Jenderal Deandles berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa 17 Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 26 wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia 1811-1816 di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama Land Rent Sistem Sistem Sewa Tanah dengan dengan 3 tiga azas pengelolaan tanah18. Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC Wasino, 2005 5. Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat Wasino, 20056. Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasa an tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan 18 3 tiga azas sistem sewa tanah Raffles, yakni 1 segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan jenis tanaman, 2 peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, 3 pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 27 Ong Hok Ham, 19843. Hal ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah mancanegara Suhartono, 199175. Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa cultuurstelsel oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hukum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik negara Wasino, 20056. Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870 dan pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad Lembaran Negara Nomor 102 Tahun 1885 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Setelah tahun ini sistem liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang mempunyai azas yang sangat berbeda dengn pola penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat Jawa pada Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 28 umumnya masih bersifat komunal, dalam Undang-undang ini mengatur kearah indivindualistis. Diantaranya 1.Memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. 2.Dimungkinkannya untuk memiliki hak mutlak atas tanah hak eigendom termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing. 3.Sistem penguasaan tanah di Jawa yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. 4.Gubernur Jenderal van Heutz secara bertahap menghapuskan sistem apanage pada kurun waktu 1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan. 5.Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggaduh pinjam sementara telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe milik secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern 6.Dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17 Oktober 1930 tentang pengakuan hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 29 hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Suhartono, 1991 96-101. c. Pengelolaan Pertanahan Setelah Kemerdekaan di Yogyakarta Terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa perubahan eksistensi Kasultanan Yogyakarta yang semula merupakan bagian dari wilayah pemerintah Hindia Belanda, kemudian Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono IX maupun Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII19, menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia20. Untuk 19 Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman sesungguhnya sejak saat itu sudah bergabung menjadi satu daerah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Pangeran Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur. Pengesahan penggabungan kedua daerah kekuasaan tersebut disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta. 20 Amanat Sri Paduka Ingkang Sinumuwun Kanjeng Sultan Kami, Hamengkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat menyatakan 1 Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2 Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. 3 Bahwa hubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini. Ngajogjokarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe, 1877 5 September 1945 HAMENGKUBUWONO Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 30 mengatur urusan pertanahan sejak tahun 1946, dikeluarkan berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah, antara lain Maklumat Nomor 13 tahun 1946 tentang tanah negeri dan berdasarkan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat kewenangan untuk mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya sendiri, salah satu diantara urusan yang menjadi kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bidang keagrariaan/pertanahan Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 secara nasional pada tanggal 24 September 1960. Kewenangan keagrariaan seharusnya berada pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat, tetapi dalam pelaksanaan penghapusan tanah-tanah swapraja sebagaimana diatur dalam Diktum Keempat A UUPA yang menyatakan bahwa hak dan wewenang atas bumi dan air, swapraja dan bekas swapraja beralih pada negara sejak berlakunya UUPA, dan dalam Diktum Keempat B akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini Peraturan Pemerintah tersebut tidak segera diwujudkan. Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 31 ketentuan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954. Dalam penjelasan umum, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto penjelasan pasal 11 dinyatakan bahwa, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengatur masalah pertanahan harus berdasarkan prinsip atau asas domein sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblaad Pakualaman Tahun 1919 Nomor 18, di mana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah milik/domain kerajaan/Kraton Yogyakarta. Penguasaan tanah oleh Sultan Yogyakarta didapat sebagai pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian yang diadakan di Desa Giyanti sehingga dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti pada tahun 13 Februari 1755. Setelah adanya perjanjian Giyanti, maka Sultan Hamengku Buwono mempunyai hak milik domein atas tanah di wilayah barat Kerajaan Mataram dan hal ini tetap harus hidup dalam kesadaran hukum masyarakat KPH. Notojudo, 1975 4-5, sehingga di seluruh wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan tegas diberlakukan asas domein. Asas ini merupakan pernyataan sepihak dari Sultan. Seperti yang termuat dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarben ing liyan, mawa wenang eigendom, dadi bumi kagungane Kraton Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 32 Ingsun Ngayogyakarta. atau Semua tanah yang tidak ada tanda kepemilikan orang lain maupun wewenang eigendom, adalah milik Sultan Hak eigendom dan hak opstal yang bisa dimiliki oleh rakyat adalah berpangkal pada pasal 570 BW, peraturan tersebut merupakan ketentuan yang dikeluarkan pihak pemerintah Hindia Belanda. Hal ini bisa diberlakukan di wilayah Kasultanan Yogyakarta karena adanya ikatan kontrak politik yang berlangsung hingga tahun 1940. Selanjutnya setelah seluruh tanah selain yang dilekati dengan hak eigendom dinyatakan milik kraton, diantaranya diserahkan kepada 1.Konsekuensi dari diberlakukannya asas domein tersebut maka rakyat yang tidak mempunyai hak eigendom, untuk masyarakat kota[raja penguasaan tanahnya adalah dengan hak anggaduh yaitu penguasaan dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiganya hasil tanahnya jika merupakan tanah pertanian dan apabila berupa tanah pekarangan, maka mereka dibebani kerja tanpa upah untuk kepentingan Raja Boedi Harsono, 1968 56 . Untuk selanjutnya berdasarkan RB Kasultanan Yogyakarta 1925 Nomor 23 dan RB Kadipaten Pakulaman 1925 Nomor 25, warga masyarakat di Kotapraja diberikan hak andarbe . sedangkan warga masyarakat di pedesaan luar kotapraja diberikan hak anganggo turun temurun. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 33 2.Untuk desa atau kalurahan yang sudah ada dan dibentuk diberikan dengan hak andarbe atau tanah hak milik desa21, dengan pengaturannya sebagai berikut a Hasil dari penggunaan dan pemanfaaan tanahnya untuk pembiayaan administrasi desa/kalurahan dengan status Tanah Kas Desa. b Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya yang dipergunakan untuk penmghasilan perangkat desa pamong dengan status Tanah Bengkok/Lungguh c Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya untuk mantan perangkat desa pamong dengan status Tanah Pengarem-arem, dan d Tanah desa lainnya untuk kepentingan umum seperti jalan, lapangan, pengembalaan, makam, dsb. e Tanah domein bebas yang penggunaan dan pemanfaatannya berupa hutan belukar, terlantar, dan tanah yang tidak dapat dimanfaatkan. Permasalahannya sampai saat ini dari pengukuran kadastral dan pelacakan yang dilaksanakan sejak 1993 hingga 2000 Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional serta perangkat desa, 21 Untuk penduduk Kotapraja Yogyakarta Dapat Diberikan Hak Milik Atas Tanah, sedangkan untuk luar kotapraja yang dapat memiliki Hak Milik Atas Tanah adalah Kalurahan sekaranag desa atau Dorps Beschikkingrecht. Untuk penduduk hanya dapat diberikan Hak Pakai Turun-temurun atau Erfelijk Individueel Gebriksrecht. Selo Sumardjan, 1986, Tanggapan Atas Disertasi Berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 34 baru dapat mendata hektar tanah-tanah Sultanaat Ground SG atau Siti Kagungandalem dan Pakualaman Ground PAG22. Untuk memberi solusi dalam pendaftaran tanah telah dikeluarkan Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 21 Oktober 2003 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakart, diantarnya berisi tentang persyaratan permohonan hak atas tanah di atas Sultan Ground ataupun Pakualaman Ground, dapat didaftarkan dengan hak atas tanah sesuai dengan UUPA di atas tanah Sultan Ground/Pakualaman Ground. 22 Surat Kakanwil BPN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Bapak Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, tanggal 13 Februari 1999, perihal Penertiban tanah-tanah Swapraja di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 35 Refleksi Sejarah dan Politik Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta Secara tradisional Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Kasultanan Mataram adalah pemilik atas tanah yang ada di dalam daerah kekuasaan atau wewengkon-nya Uraian pada bagian ini berdasarkan pada Soemarsaid Moertono, 1963; Soeripto, 1929; Rouffaer, 1931 kecuali apabila disebut secara khusus. Dalam Adatsrechtbundel Jilid XXXIV, menyebutkan bahwa wilayah Kasultanan Mataram lama dapat dibedakan menjadi tiga bagian23 yaitu a. Negara, ibukota kota istana yang menjadi pusat segala kehidupan yang mencakup masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. b. Nagara-gung yang secara harafiah berarti kota besar. c. Mancanegara, yaitu daerah di luar Nagara. Dalam perkembangannya, setelah terjadi penyerangan masyarakat Cina yang disebut Geger Pacinan dengan penyerangan ibu kota Kasultanan Mataram di Kartosuro pada tahun 1742 dan mangkatnya Sri Sunan Paku Buwono II pada tahun 1749, diangkatnya Pangeran Adipati Anom sebagai Sri Sunan Paku Buwono III. Dalam kondisi peperangan melawan kumpeni. Dikarenakan keleLahan dalam peperangan, maka diadakan 23 Suyitno, Tanah Kasultanan Yogyakarta SG dan Pakualaman PAG. Tinjauan Historis-Yuridis. Tidak dipublikasikan. Dipresentasikan di Balai Senat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 14 Februari 2009. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 36 perundingan antara Gubernur dengan Pangeran Mangkubumi di Gianti pada tanggal 13 Februari 175524. Dalam melaksanakan pekerjaan penggarapan tanah, Sultan mengatur penggunaan tanah berdasarkan Pranatan Patuh 1863 atau kepatuhan/ kebekelan yang menggunakan sistem apanage. Adapaun pengaturan penggunaan tanah tersebut sebagai berikut 1. Tanah Keprabon Crown Domain Keparabon Dalem atau Tanah mahkota adalah tanah yang penggunaannya diperuntukkan pembangunan istana, alaun-alaun, masjid, taman sari, pesanggrahan atu bangunan pendukung lainnya; Keprabon ini merupakan serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di Ngayogyakarta. Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender pusaka, sedang benda tidak bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil, istana keraton dan lain sebagainya.
The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 159 Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870 Periode Awal Swastanisasi Perkebunan Di Pulau Jawa Masyrullahushomad1 Sudrajat1 1Afiliasi Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Jalan Colombo No. 1 Yogyakarta 55281, Indonesia Shomadsejarah2013 sudrajat Received 25 June 2019; Received in revised form 20 July 2019; Accepted 24 August 2019 Abstrak Perkembangan perkebunan di Indonesia terbagi menjadi dua fase. Fase pertama disebut dengan fase perkebunan negara 1830-1870. Sedangkan, fase kedua adalah fase perkebunan swasta yakni fase pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria. Agrarische Wet 1870 menjadi landasan yuridis formil masuknya investasi swasta non pemerintah dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Dampak langsung dari diterapkannya Agrarische Wet 1870 adalah meningkatnya intensitas jumlah ekspor komoditas perkebunan dan semakin bertambah luasnya lahan perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa. Kata KunciAgrarische Wet 1870, swasta, perkebunan. Abstract The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Keywords 1870 Agrarische Wet, private, plantation. PENDAHULUAN Pasca kerja paksa, sistem politik dan kebijakan pertanahan memasuki babak baru, yakni era ekonomi liberal berlaku di Hindia Belanda. Pada periode ini, perdebatan di parlemen Belanda tentang investasi perkebunan skala luas kemudian menghasilkan Regering Reglement Agrarische Wet 1870. Sistem monopoli pemerintah kolonial selama ini tentang tanah didesak oleh swasta agar pihak swasta diberi ruang untuk melakukan investasi di Hindia Belanda. Hasilnya keluarlah Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria Salim, 2014 18-19. Sekilas, lahirnya Agrarische Wet 1870, seolah memberi kabar gembira kepada rakyat pribumi karena rakyat pribumi akan diberikan hak eigendom. Akan tetapi, Agrarische Wet 1870 hanyalah alasan untuk memuluskan jalan pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Keuntungan yang besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 160 hanya dinikmati oleh para pemodal asing, sementara rakyat pribumi hidupnya semakin merana Anggraini, 2016 45-46. Sejak diberlakukannya Agrarische Wet 1870, pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda dan negara Eropa lainnya mendapatkan jumlah keuntungan yang luar biasa dengan berlandaskan pada colonial super profit. Istilah ini mengacu pada kondisi akumulasi modal luar biasa dari investasi modal asing yang mendapatkan tenaga kerja dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Di samping itu, pihak pemodal tidak perlu menanggung beban pembangunan infrastruktur seperti fasilitas transportasi dan komunikasi. Semuanya dibiayai oleh pemerintah yang diambil dari pungutan pajak oleh pemerintah terhadap penduduk negeri jajahan Achdian, 200820. Pemberlakukan Agrarische Wet 1870 selama lebih dari 70 tahun 1870-1942, menjadi landasan legal-politis pemerintah kolonial Belanda dalam memfasilitasi perusahaan-perusahaan kapitalis Eropa dengan hakerfpachtrecht selama 75 tahun Rachman, 2012 15. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan pasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Beberapa komoditi utama perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa adalah gula, kopi, tembakau, teh, kareta, kina, dan kelapa. Sedangkan, di luar Pulau Jawa adalah karet, kelapa sawit, dan tembakau merupakan produk utamanya khususnya di Sumatera. Dalam periode ini, komoditi gula mulai menggantikan kedudukan kopi sebagai primadona produk unggulan yang diproduksi di Pulau Jawa. Berdasarkan analisis tersebut, maka artikel ini akan membahas sejarah lahirnya Agrarische Wet 1870 dan hubungannya dengan swastanisasi perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. METODE Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap, yakni heuristik heuristik, kritik sumber verifikasi, interpretasi oufassung, dan historiografi darstellung Abdurrahman, 2011 104. Sumber-sumber dalam kajian ini menggunakan data-data sekunder yang relevan dengan objek pembahasan. Sumber sekunder adalah dokumen yang menguraikan atau membicarakan sumber primer. Katagori sumber sekunder adalah monografi, buku-buku pelajaran, hasil kongres, makalah, prasaran, dan lain-lain Marzuki, 2014 36. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa perpustakaan, google book, dan jurnal- HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 161 jurnal resmi yang bisa diakses di internet. PEMBAHASAN LAHIRNYA AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan di Indonesia telah hadir sejak era pendudukan kolonial Hindia Belanda. Keberadaan perkebunan kolonial tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Indonesia pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca 1870. Pada sistem yang pertama pemerintah lebih banyak menggunakan otoritasnya high authority untuk membeli berbagai komoditi yang diperlukan dan tidak jarang dengan cara-cara paksa. Selanjutnya, pada sistem perkebunan swasta “liberal” terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara pusat-pusat perkebunan dengan pusat-pusat metropolitan dengan pasar modalnya. Besarnya aliran investasi yang bebas dan luas menurut catatan Gordon telah menempatkan Belanda sebagai negara investor terbesar nomor 3 tiga di dunia yang sebagian besar investasinya ditanamkan di Hindia Belanda. Liberalisasi perkebunan ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan para pemilik modal perkebunan. Seperti yang dikatakan Pelzer bahwa karena ketergantungan pemerintah Belanda terhadap perkebunan sebagai sumber devisa utama. Menyebabkan Pemerintah Belanda terpaksa menyerah terhadap tuntutan pihak pemilik modal perkebunan Tim Riset Sistematis STPN, 2010 50. Upaya untuk melakukan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda sebenarnya telah berlangsung sejak masa pemerintahan Menteri Jajahan Frans van de Putte. Pada tahun 1865, Menteri Jajahan Frans van de Putte seorang liberal mengajukan sebuah Rencana Undang-Undang RUU yang menyatakan bahwa 1. Gubernur Jenderal akan memberikan hal erfpacht hak guna usaha selama 99 tahun, 2 Hak milik pribumi akan diakui sebagai hak mutlak eigendom, dan 3 Tanah komunal dijadikan hak milik perorangan sebagai hak mutlak eigendom. Ternyata RUU ini ditolak oleh parleman bahkan ditentang keras oleh sesama golongan liberal sendiri dengan tokoh utamanya Thorbecke. Tidak hanya itu, Menteri Jajahan Frans van de Putte akhirnya dijatuhkan dari jabatannya karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk menamkan modal di bidang pertanian di Hindia Belanda belum tercapai Wiradi, 2000 126-127. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 162 Setelah jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte dari tampuk jabatannya sebagai Menteri Jajahan. Pada tahun 1866/1867, pemerintah jajahan mengadakan penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini terbit dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1890 dengan judul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op de Grond biasa disingkat Eindresume. Ternyata pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian ini. Pada tahun 1870, Menteri Jajahan de Waal mengajukan RUU ke parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini kemudian ditambah 3 ayat dari pasal 62 RR tersebut di muka, sehingga menjadi 8 ayat, di mana satu diantaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun bukan lagi 99 tahun seperti dalam RUU van de Putte yang sebelumnya ditolak Parlemen. Pasal 62 RR dengan 8 ayat ini kemudian menjadi Indische Staatsregeling IS yang diundangkan dalam Lembaran Negara Staatsblad No. 188 tahun 1870. Ketentuan-ketentuan tersebut dalam pelaksanaannya diatur dengan berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan penting ialah apa yang dikenal dengan Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 118 tahun 1870. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit inilah yang memuat suatu pernyataan penting yang telah cukup dikenal yaitu Domain Verklaring, yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak eigendom adalah domain negara domain negara maksudnya milik negara”. Agrarisch Besluit 1870 inilah menjadi tonggak penting swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda Wiradi, 2000 126-127. Undang-undang Agraria yang lahir pada 9 April 1870 yang menjadi pasal 51 dari Wet op de Indische Staatsregeling, isinya sebagai berikut 1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah, 2. Larangan itu tidak mengenai tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan dan bangunan, 3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah yang diatur dalam undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia atau dipergunakan untuk tempat menggembala ternak bagi umum atau yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan umum lainnya, 4. Dengan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 163 pakai turun-temurun untuk selama-lamanya 75 tahun, 5. Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak rakyat Indonesia, 6. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri, atau untuk keperluan lain kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu; semuanya itu dengan pemberian ganti rugi yang layak, 7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan syarat-syarat dan pembatasan yang diatur dalam undang-undang, dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom itu, yaitu mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada negara dan desa, dan juga tentang hak menjualnya kepada orang yang bukan orang Indonesia, 8. Persewaan tanah oleh rakyat Indonesia kepada orang asing berlaku menurut undang-undang. Seterusnya dalam undang-undang itu termasuk juga hak-hak baru atas tanah, di antaranya disebutkan 1. Pemberian hak erfpacht atas tanah yang berupa hutan belukar; 2. Perlindungan hak rakyat Indonesia atas tanah; 3. Membuka kemungkinan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak yang lebih kuat atas tanahnya; 4. Persewaan tanah oleh bangsa Indonesia kepada bangsa asing. Maksud yang terkandung dalam undang-undang itu menyatakan 1. Menjamin kepentingan modal besar partikeliryang akan menanamkan modalnya di lapangan pertanian dan perkebunan dengan memberi kesempatan kepada modal besar partikelir untuk mendapatkan tanah dengan jaminan dan perlindungan akan perkembangannya, 2. Melindungi hak milik rakyat atas tanah sebagai golongan yang lemah dari akibat no. 1 di atas, dengan memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak agraris eigendom atas tanahnya sebagai hak yang lebih kuat, serta perlindungan dengan Undang-undang agar jangan sampai tanahnya itu gampang jatuh ke tangan orang asing. Isi dua maksud dari Undang-undang di atas sangat bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Dari dua maksud tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu harus mengorbankan salah satu di antaranya. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 164 Keduanya merupakan pilihan yang cukup sulit, ibaratnya memelihara harimau dan kambing dalam satu kandang. Harimau harus gemuk, kambing perlu hidup dan jangan mati Tauchid, 2009 24-26 Salah satu inti perundangan tersebut, Domein Verklaring, merupakan langkah awal yang radikal dalam mengusahakan sentralisasi penguasaan tanah dan sumber daya lain ke tangan negara secara faktual. Ekonomi Belanda saat itu telah siap untuk ekspansi modalnya secara mendiri, tidak lagi diwakilkan pada negara kolonial seperti sebelumnya, di daerah kolonial. Kawasan yang dianggap bebas kepemilikan, terutama daerah dataran tinggi, di definisikan sebagai tanah negara dan dapat disewakan pada swasta selama 75 tahun. Di dataran rendah swasta dapat menyewa tanah dari penduduk. Perkebunan tanaman keras bermunculan, dan kawasan tanam paksa seperti daerah tebu sedikit demi sedikit beralih dari negara ke tangan swasta. Intervensi radikal dari negara kolonial ke dalam sistem penguasaan tanah dan produksi masyarakat sejak awal telah berdampak besar pada kehidupan rakyat di desa maupun kelembagaan pemerintahan pedesaan. Penelitian dari pemerintah Belanda sendiri memperlihatkan peningkatan kemiskinan di antara penduduk desa. Studi-studi dari Boeke yang melontarkan pengertian ekonomi dualistik dan statik expansion lepas dari penilaian terhadap pengertian-pengertian di atas mengindikasikan kemandekan ekonomi rakyat. Demikian pun konsep involusi pertanian dari Geertz mengindikasikan berkurangnya tanah bagi petani dan pemiskinan. Daya jangkau dan teknologi saat itu tidak memungkinkan negara kolonial dan pemodal besarnya saat itu cepat berekspansi keseluruh kawasan Indonesia. Hanya beberapa enklave, seperti Sumatera Timur/Deli, menyaksikan ekspansi kapital dalam bentuk perkebunan-perkebunan tembakau dan berakibat pada penggusuran tanah-tanah penduduk diprakarsai oleh penguasa pribumi yang mempunyai kepentingan sama dengan pekebun-pekebun asing. Di segi lain, ekspansi negara kolonial ini berdampak pada kebutuhan sistem pemerintahan yang langsung. Terutama di Jawa, pemerintahan desa berkembang menjadi bagian integral dari pemerintah pusat kolonial, mengabdi dan loyal pada kepentingan pemerintahan pusat kolonial dan modal besar Shohibuddin, 2012 45-46. Vollenhoven 2013 166-167 menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Agrarische Wet 1870 dituangkan rinciannya dalam keputusan-keputusan agraria atau Agrarisch Besluit yang hanya berlaku di Jawa dan Madura. HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 165 Inti dari Agrarisch Besluit dijabarkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, dan produk-produk selanjutnya berisi perubahan berbagai pasal dari Staatsblad 1870 No. 118 itu. Yang termasuk keputusan agrarian adalah Statasblad 1870 No. 118 Staatsblad 1872 No. 116 Staatsblad 1874 No. 78 Staatsblad 1877 No. 196 dan 270 Statasblad 1888 No. 78 Staatsblad 1893 No. 151 Staatsblad 1893 No. 199 Staatsblad 1896 No. 140 Staatsblad 1904 No. 325 Staatsblad 1910 No. 185 Staatsblad 1912 No. 235 Staatsblad 1916 No. 647 dan 683 Staatsblad 1926 No. 321 Staatsblad 1935 No. 118 jo Staatsblad1937 No. 339 Domeinverklaring dinyatakan dalam Agrarische Besluit Staatsblad 1870 No. 118 dan berlaku untuk Jawa dan Madura. Untuk wilayah di luar Jawa dan Madura secara umum, domeinverklaring dinyatakan dalam Staatsblad 1875 No. 199a. Dan untuk wilayah-wilayah khusus, adalah sebagai berikut Sumatra Staatsblad 1874 No. 94f Manado Staatsblad 1877 No. 55 Kalimantan Selatan/Timur Staatsblad 1888 No. 58 DAMPAK DARI DIBERLAKUKANNYA AGRARISCHE WET 1870 Pada era ini, semua tanah tak bertuan atau tanah kosong dikuasai oleh negara, sehingga negara bertindak sebagai dominum pemilik tanah. Hal ini dimungkinkan supaya negara dapat menjual hak penguasaan tanah kepada swasta. Ketentuan ini dituangkan di dalam Pasal 1 Agrarische Besluid tahun 1870 yang mengatur mengenai asas domein verklaring, dengan ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapatdibuktikan dengan hak eigendom-nya adalah domein negara Wodowati, 2014 15. Bertolak dari kepentingan politik keagrariaan Belanda di Hindia Belanda, maka negara harus dijadikan pemilik tanah tertinggi. Dasar pemikirannya adalah karena daerah jajahan telah ditaklukkan secara militer sehingga menjadi daerah taklukkan’ gekongcuesteert gebied maka tanahnya pun menjadi tanah taklukkan’ agri limitati-Lat.. Berdasarkan kenyataan itu, negara bisa menjadi pemilik tanah tertinggi atas tanah taklukkan’. Dasar hukumnya untuk daerah jajahan, kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 Agrarische Besluit 1870 yang merupakan penjelasannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria 1870. Dalam Pasal 1 Agrarische Wet 1870 itu ditegaskan bahwa seluruh tanah adalah milik negara Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 166 landsdomein, kecuali dapat dibuktikan dengan bukti hak milik eigendom’ berdasarkan Pasal 570 KUHPInd. Dengan demikian, struktur kepemilikan tanah di daerah jajahan yang diteruskan oleh pemerintahan negara Hindia Belanda adalah hanya mengenal dua subjek hukum pemegang hak milik eigendom’ atas tanah yaitu negara dan orang sebagai pribadi hukum, seperti tampak dalam Diagram No. 3 berikut. Diagram Struktur pemilikan hak milik eigendom’ di Hindia Belanda Sumber Abstraksi Herman Soesangobeng dari BW/KUHPInd. dan Agrarische Wet 1870. Diagram no. 3 ini menjelaskan bahwa hak milik tanah yang sah secara hukum hanyalah hak eigendom yang diatur dalam asal 570 BW/KUHPdt. Demikian pula subjek pemegang haknya pun hanya warga negara Belanda dan orang Eropa yang tunduk pada hukum sipil Belanda BW/KUHPdt.. Negara sebagai subjek hukum baik dalam arti corpus comitatus’ maupun corpus corporatum’ adalah pemilik tertinggi’ het hoogste eigenar atas seluruh tanah dalam wilayah Negara. Konsep kepemilikan tertinggi ini pada sistem hukum komon common law system di Amerika disebut right of eminent domein’. Dengan ketentuan ini maka pemerintah Hindia Belanda berhak dengan bebas mengambil kembali tanah miliknya yang dikuasai penduduk Bumiputra. Bila diperlukannya baik untuk keperluan negara maupun untuk diberikan kepada pengusaha swasta Belanda bagi pengembangan usaha pertanian atau perkebunan. Karena sebelum VOC sampai terbentuknya pemerintahan Negara Belanda sudah ada penduduk-penduduk Indonesia yang menduduki dan menguasai tanah berdasarkan Hukum Adat mereka. Maka konsep tanah milik negara itupun lalu dibedakan antara tanah milik negara yang bebas vrij landsdomein dan tanah negara yang tidak bebas onvrij landsdomein. Tanah milik negara bebas adalah tanah-tanah milik negara yang tidak dilekati oleh hak-hak orang Bumiputra dengan hukum adatnya. Sebaliknya tanah negara tidak bebas adalah tanah milik negara yang diduduki dan dikuasai oleh orang Bumiputra berdasarkan hukum adat HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 167 mereka, sehingga hak adat orang Bumiputra masih melekat pada tanah milik negara Soesangobeng, 2012 87-89. Politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang mempunyai pengaruh besar pada eksistensi tanah ulayat adalah diundangkannya Agrarisch Wet 1870 Stb. 1870 No. 15527, dengan peraturan pelaksanaannya Agrarisch Besluit 1870, yang memberlakukan asas domein dalam sistem penguasaan tanah. Pasal 1 AB 1870 berbunyi “Behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waaropniet door anderen recht van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein milik negara. Pemberlakuan asas domein merupakan ide kaum kapitalis Belanda untuk mempermudah perolehan erfpacht dan opstal, sebab, menurut KUH Perdata, hanya pemilik eigneaar yang dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada pihak lain. Dalam Agrarisch Wet, pemerintah bukan pemilik tanah sehingga berdasarkan asas domein, negara adalah pemilik semua tanah kecuali yang bisa dibuktikan sebagai eigendom dan agrarische eigendom”. Domein Verklaring mengakibatkan tersubordinasinya sistem hukum asli Indonesia. Kata eigendom dalam Pasal 1 AB 1870 tersebut menimbulkan 3 tiga interpretasi Pertama, tanah eigendom dapat diartikan menjadi tanah yang dalam hukum perdata disebut sebagai hak kepemilikan eigendom dan agrarisch eigendom. Kedua, karena eigendom dapat diterjemahkan sebagai kepemilikan, ini dapat berarti tanah dalam segala bentuk kepemilikan pribadi, termasuk hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan, tetapi tidak termasuk hak kepemilikan komunal masyarakat adat yang disebut hak ulayat. Ketiga, ini dapat mencakup hak kepemilikan dalam hukum perdata dan hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan termasuk hak ulayat. Pada praktiknya, interpretasi pertama yang dipakai Sembiring, 2018 88-90. KAKAKTERISTIK PERKEBUNAN SWASTA BERDASARKAN AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan besar mulai hadir di Indonesia sebagai akibat politik liberal pemerintah kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870. Dengan diberlakukannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula Suiker Wet 1870 menjadi landasan mulai dibukanya perkebunan swasta di Pulau Jawa. Dibukanya Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 168 perkebunan swasta menandai dimulainya kebijakan kolonial yakni dimulainya periode liberal 1870-1900. Sebelumnya monopoli pemerintah terhadap tanaman ekspor secara bertahap dihapuskan sejak 1860-an. Pertama kebijakan ini diberlakukan terhadap tanaman yang tidak menguntungkan dan terakhir tebu akhirnya berakhir pada 1890 serta kopi daerah terakhir yang menerapkan tanam paksa kopi baru ditutup pada 1919. Periode liberal bertepatan dengan ekspansi kekuasaan Belanda di luar Jawa. Eksploitasi perdagangan di pulau-pulau lainnya berlangsung selama abad ke-20. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19 produk-produk dari pulau-pulau di luar Pulau Jawa sudah masuk dalam kalkulasi perdagangan Belanda Ricklefs dkk, 2013 335-336 ; Kahin, 2013 16-17. Karakteristik sistem produksi perkebunan swasta pada masa ini umumnya mempunyai empat atribut yang melekat padanya, yaitu pertama, berorientasi ekspor dalam skala besar; kedua, kebutuhan tenaga kerja sangat besar dibanding dengan yang dapat tersedia oleh pasar tenaga kerja domestik yang bebas; ketiga, diperlukan mekanisme ekstra-pasar pemaksaan oleh aparatur pemerintah guna memenuhi kebutuhan tersebut dan mekanisme ini sangat dominan dalam menentukan hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat; dan keempat, tumbuh budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan sosial yang terbentuk itu Wiradi, 2009 60. Selain itu, berbeda dari kebijakan cultuurstelsel yang bertumpu pada dan memanfaatkan sistem desa. Agrarische Wet 1870 sebaliknya hendak melepaskan tanah dari ikatan-ikatan komunalnya pada desa dan membebaskan warga dari kerja wajib kepada desa. Pemerintah kolonial juga mengakui hak milik warga atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik itu kepada orang-orang asing. Namun, tujuan yang lain di balik itu sebenarnya adalah untuk memungkinkan pengusaha partikelir dapat menguasai tanah-tanah di luar tanah negara, yakni tanah-tanah garapan penduduk karena sekaligus akan dapat menguasai tenaga kerjanya. Hal ini dilakukan melalui kontrak sewa tanah kepada para petani pemiliknya dan merekrut mereka sebagai tenaga kerja perkebunan melalui sistem upahan Shohibuddin, 2010 36-37. PERKEMBANGAN PERKEBUNAN SWASTA DI JAWA Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria memberikan kebebasan dan jaminan keamanan kepada para pengusaha investor. Undang-undang ini menekankan pribumilah yang dapat memiliki tanah. Namun, orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 169 pemerintah selama 75 tahun atau dari para pemilik pribumi selama 5 sampai 20 tahun tergantung persyaratan pada hak pemilikan tanah. Perkebunan swasta pasca diberlakukannya Agrarische Wet 1870 dapat berkembang di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran dengan kapal uap sebagian berada di tangan orang-orang Inggris dalam waktu yang kira-kira sama mendorong lebih lanjut perkembangan swasta dengan semakin membaiknya sistem perhubungan dengan Eropa Ricklefs, 2008 271. Ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan dan pengusahaan tanaman perdagangan di Hindia Belanda terjadi antara 1870 dan 1920, terutama gula dan tebu di Jawa termasuk juga teh dan kopi dan kemudian karet dan kelapa sawit di Sumatera. Dalam kurun waktu ini, industri pertanian atau perkebunan di Hindia Belanda mengalami perkembangan yang sangat pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I Padmo, 199127. Pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 di Pulau Jawa pemanfaatan lahan dimaksimalkan dengan sebaik mungkin. Daerah dengan demografi dataran tinggi digunakan untuk menanam kopi, teh, kina, dan ketela pohon di ladang-ladang. Sedangkan, di dataran rendah, perusahaan perkebunan menanam tebu, kakao, dan tembakau Oudejans, 1999 25-26. Perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan di Pulau Jawa adalah perkembangan dalam industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Dalam tahun 1870 luas tanah di Pulau Jawa yang ditanami gula berjumlah bahu. Sedangkan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat menjadi bahu. Di pihak lain, produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari pikul dalam tahun 1870 meningkat menjadi pikul dalam tahun 1900. Demikian pula perkebunan-perkebunan teh mengalami perkembangan yang pesat, terutama setelah perusahaan- Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 170 perusahaan perkebunan mulai ditanam dengan teh Assam. Tanaman ekspor lain yang mengalami kenaikan dalam produksi adalah tembakau. Jauh sebelumnya tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Selama zaman liberalisme, pengusaha-pengusaha Belanda mendirikan pula perkebunan-perkebunan tembakaudi sekitar Basuki Jawa Timur yang kemudian mengalami perkembangan pesat. Perkebunan-perkebunan di Basuki tersebut bekerja sama erat dengan penduduk sekitar yang juga menanam tembakau yang kemudian disortir dan diolah selanjutnya di perkebunan-perkebunan besar. Di samping itu modal dan usaha Belanda mendirikan perkebunan-perkebunan tembakau yang besar di sekitar Deli Sumatera Timur. Tanaman-tanaman dagang lainnya yang dihasilkan perkebunan-perkebunan besar yang juga mengalami perkembangan pesat adalah kopi dan kina. Selama masa ini Hindia Belanda menjadi penghasil kina paling terkemuka di dunia karena hampir 90% kina yang digunakan di dunia pada waktu itu berasal dari perkebunan-perkebunan kina di Jawa. Di pihak lain, kopi tidak mengalami perkembangan begitu pesat selama seperti selama sistem tanam paksa berlaku Poesponegoro, 2008 377. Daerah-daerah utama penghasil gula di Pulau Jawa ada di Pantai Utara Jawa yang memiliki sistem pengairan sawah yang sangat baik, yaitu antara Keresidenan Cirebon sampai Semarang, kemudian di Selatan Gunung Muria hingga Juwana. Kemudian daerah kesultanan varstenlanden termasuk produsen gula yang baik pula. Menyusul setelah itu keresidenan Madiun, Kediri, dan Basuki di Jawa Timur. Selain itu, wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan daerah-daerah Surabaya hingga Jombang di Pantai Utara Jawa juga termasuk produsen gula utama Jawa Leirissa, 2012 65. Adapun perkembangan ekspor Hindia Belanda tahun 1874-1914 dapat dilihat pada Tabel Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa terjadi perkembangan luar biasa ekspor Hindia Belanda pada periode tahun 1874-1914. Sebagai suatu catatan, perlu diingat bahwa setelah 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan seret diakibatkan jatuhnya harga gula dan kopi di pasaran internasional. Jatuhnya harga gula di pasar dunia diakibatkan di Eropa mulai dilakukan penanaman gula bit beet sugar sehingga mereka tidak perlu lagi mengimpor dari Hindia Belanda. Pada tahun 1891 harga tembakau di pasar internasional juga jatuh sehingga mengancam kelangsungan hidup HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 171 perkebunan-perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Tabel Ekspor Hindia Belanda, 1874-1914 dalam jutaan Gulden Gula Kopi Teh Rempah-Rempah Tembakau Kopra Timah Minyak Bumi Karet Asal Jawa+Madura Luar Jawa Hindia Belanda 50 68 3 6 11 0 5 0 0 144 25 169 183 23 27 14 64 61 41 137 27 360 324 685 +266 -66 +800 +133 +482 + 720 ++ ++ +150 + +305 Sumber Van Zanden & Marks 2012, h. 85 dalam Boediono 2016 53 Krisis perdagangan tahun 1885 juga ikut memukul bank-bank perkebunan cultur banken yang meminjamkan uang ke berbagai perusahaan perkebunan. Akibat jatuhnya usaha perkebunan, maka secara otomatis ikut jatuh pula bank-bank perkebunan. Selain itu, krisis perdagangan pada tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik perseorangan. Akan tetapi, direorganisasi menjadi perseroan-perseroan terbatas. Pemimpin perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langung tetapi oleh seorang manajer. Artinya seorang yang digaji dan langsung bertanggungjawab kepada direksi perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham. Begitu juga dengan bank perkebunan cultur banken juga tetap melanjutkan usahanya sebagai pemberi kredit kepada perkebunan-perkebunan. Namun, setelah krisis 1885 mereka pun juga mengadakan pengawasan atas operasi perkebunan-perkebunan besar tersebut. Pada akhir abad ke-21 terjadi perkembangan baru dalam kehidupan ekonomi di Hindia Belanda. Sistem liberal murni dengan persaingan bebas mulai ditinggalkan dan digantikan dengan suatu tata ekonomi yang lebih terpimpin. Kehidupan sosial-ekonomi Hindia Belanda khususnya di Jawa mulai dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan finansial dan industrial di negeri Belanda. Kewenangan-kewenangan tidak lagi diberikan kepada pemimpin perkebunan-perkebunan besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 172 yang berkedudukan di Jawa Daliman, 2012 52-53. PENUTUP Simpulan Perkembangan sistem perkebunan di Hindia Belanda tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Hindia Belanda pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870. Perkembangan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda mendapatkan momennya sejak diberlakukannya Agrarische Wet Wet 1870 menjadi landasan yuridis-formil masuknya investasi asing dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Pemodal swasta diberikan hak erfpacht hak guna usahaselama 75 tahun oleh pemerintah Belanda untuk membuka lahan perkebunan baru di Hindia Belanda. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunanpasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Khusus di Pulau Jawa, perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan adalah perkembangan pesat industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I. Saran Penelitian mengenai sejarah sosial ekonomi di Indonesia sangat menarik. Banyak sekali objek kajian yang bisa dikaji, terutama mengenai kondisi sosial ekonomi Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda. Salah satunya ialah penelitian ini yang membahas konsep dan dampak penerapan Agrarische Wet 1870 terhadap perkembangan perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Agrarische Wet 1870 inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang utama swastanisasi perkebunan di Indonesia jelas berpengaruh besar terhadap HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 173 perubahan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia khususnya Pulau Jawa pada saat itu dan masa sekarang. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodelogi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta Ombak. Achdian, Andi. 2008. Tanah Bagi yang Tak Bertanah Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin. Bogor Kekal Press. Anggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Mizan. Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda. Yogyakarta Ombak. Kahin, George McTuran. 1952. Nationalism and Revolutin in Indonesia. 2013. Terjemahan oleh Tim Komunitas Bambu. Jakarta Komunitas Bambu. Leirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Ombak. Marzuki, Yas. 2004. Metodelogi Penelitian Sejarah dan Historiografi. Palembang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Oudejans, Jan 1999. Development of Agriculture in Indonesia. 2006. Terjemahan oleh Edhi Martono. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. Padmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Media. Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Notosoesanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta Balai Pustaka. Rachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA. Ricklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Semesta. Ricklefs, Merle Calvin dkk. 2013. Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer. Jakarta Komunitas Bambu. Salim, M. Nazir dkk. 2014. Dari Dirjen Agraria Menuju Kementrian Agraria Perjalanan Kelembagaan Agraria, 1948-1965. Yogyakarta STPN Press. Sembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad Ed.. 2012. Pembentukan Kebijakan Reformasi Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad., dan Luthfi, Ahmad Nashih. 2010. Land Reform Lokal A La Ngandagan Inovasi Sistem Tenurial Adat Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Yogyakarta STPN Press. Soesangobeng, Herman. 2012. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori, dan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 174 Tauchid, Muchammad. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta STPN Press. Vollenhoven, Cornelis van. 1923. De Indonesier en Zijn Ground. 2013. Terjemahan oleh Soewargono. Yogyakarta STPN Press. Wiradi, Gunawan. 2000. Reformasi Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta INSIST Press. Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Yogyakarta STPN Press. Wodowati, Dyah Ayu dkk. 2014. Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan. Yogyakarta STPN Press. Tim Riset Sistematis STPN. 2010. Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadialan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis. Yogyakarta STPN Press. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this ini merupakan hasil studi "revisit" atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi selama periode 1947-1964 dan dampak jangka panjangnya. Di buku ini diuraikan profil kebijakan land reform lokal berbasis inovasi sistem adat sebagai jawaban atas proses diferensiasi agraria yang terjadi di desa ini. Melalui pengalaman pelaksanaan land reform di desa ini kita ditunjukkan inovasi kebijakan yang didasarkan pada kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat yang bertujuan mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan produksi yang adil, sekaligus pada saat yang sama tafsir dan praktik lokal atas kebijakan nasional land reform yang lebih sesuai dengan kondisi dan tuntutan setempat. Hal ini berhasil diwujudkan oleh komunitas desa Ngandagan berkat kepemimpinan lokal yang kuat. Buku ini bukan saja berhasil merekonstruksi sejarah pelaksanaan land reform lokal sekian dekade lalu, tetapi juga memaknainya dalam konteks kekinian. Mohamad ShohibuddinG. WiradiBuku ini menghimpun tulisan-tulisan berserak Gunawan Wiradi mengenai seluk beluk masalah agraria, penelitian agraria dan reforma agraria. Dalam buku ini, Gunawan Wiradi dengan bahasa yang mudah dicerna berhasil menempatkan tantangan Reforma Agraria dalam suatu konteks permasalahan yang dari segi waktu terentang mulai dari masa kolonial hingga era mutakhir, dan dari segi ruang tergelar mulai dari aras mikro seperti desa Ngandagan hingga pata tatanan yang lebih kompleks di aras dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan AgrariaGita AnggrainiAnggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Indonesia Dalam Lintasan SejarahBoedionoBoediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Perekonomian IndonesiaR LeirissaLeirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Kajian Sosial EkonomiSoegijanto PadmoDjatmiko DanPadmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Reform Dari Masa Ke MasaNoer RachmanFauziRachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA.A History of Modern Since c. 1200 Fourth EditionMerle RicklefsCalvinRicklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Pengaturan dan Permasalahan Tanah UlayatJulius SembiringSembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press.
sistem pemilikan tanah di pulau jawa